Tuesday, March 29, 2011

Jika Kita Jatuh Cinta 2 : Hikayat Cinta

Asal cinta je, mesti letak gambar hati. Cliche! Kali ni nak letak gambar buku ah pulak! Sebab, saya suka buku! :)




Betullah orang cakap, nak menulis ni, kalau tak ada idea, duduk ah tercangak depan laptop tu sejam dengan mata pejam celik pejam celik pun, belum tentu dapat tulis hatta satu ayat sekalipun,
Ataupun, genggamlah sepuluh batang pena dan letakkan di atas sehelai kertas sebesar alam pun, belum tentu segaris tulisan mampu kita coretkan, kalau idea tu tak mai singgah di kepala.

Lama dah rasa nak sambung...nak sambung.....nak sambung..., tapi tak tersambung2 jugak. Tandus idea mungkin. Tapi, tadi tengah lawat2 Aksara Keraian, tiba-tiba dipertemukan dengan ni:




~A. Samad Said~

"Ilham seperti ikan d lautan. Kan banyak sekali.
Penulis pula bak nelayan atau pengail ikan.
Ikan juga bisa berenang ke pesisiran pantai.
Tapi bilangannya tentu sedikit sekali.
Begitu juga ilham, kadang-kadang datang sendiri
Tetapi untuk memperoleh ilham yang banyak,
nelayan perlu berusaha untuk ke laut dalam.
Justeru penulis mesti mahu menerokai ilham tersebut."


Ya, saya tahu saya bukan penulis hebat. Yang karyanya selalu saja memikat.
Tapi asalkan menulis, bolehlah kot...

Dan Allah pun suruh kita usaha, kan??

Jadi, setelah berusaha 'mengail' dalam renyai hujan sebentar tadi,

Maka terlahirlah sambungan Jika Kita Jatuh Cinta,

Here comes the sequel : Jika Kita Jatuh Cinta 2: Hikayat Cinta

Semoga manfaat nya berlimpah berbanding mudharat, inshaAllah =)



Tajuknya dah ala2 zaman Sultan Muzaffar Syah gitu.! :p


Pernah dengar kisah cinta Laila dan Majnun?
Pernah dengar kisah cinta Romeo dan Juliet?
Pernah dengar kisah cinta Sita dan Rama?
Pernah dengar kisah cinta Saiyidina Ali r.a. dan Saidatina Fatimah ?


Sila abaikan kisah cinta 3 teratas tu. Mari, sama2 telusuri kisah cinta yang terakhir itu,
bukan saya yang tulis, tapi saya pinjam dari FB, (rujuk sini ).Semoga Allah merahmati penulisnya :-)



Mempersembahkan.....








Hikayat Cinta Saiyidina Ali karamullahuwajhah, dan puteri kesayangan Rasulullah, Saiyidatina Fatimah Radhiyallahu'anha.















Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.


”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.


Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.


Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.


’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.


Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.


’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”


Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan. Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.


Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ””Aku?”, tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai saudaraku!””Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?””Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.


Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?””Entahlah..””Apa maksudmu?””Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.


’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.


Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”


Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”

Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4).


* Jika dirasa bermanfaat dipersilahkan utk copas atau share langsung...Barakallahu fiikum....Aamiin ya Robb...^_^






Isk...isk....sedih kan?



Saiyidina 'Ali menyintai Saiyidatina Fatimah dalam diam,

Begitu juga Saiyidatina Fatimah, hatinya sudah tertaut pada Saiyidina Ali.

Namun, tiada siapa tahu rahsia hati mereka, melainkan Allah ta'ala, pencipta cinta.

Dan, dengan takdir Allah juga, mereka akhirnya disatukan atas nama cinta. *nak nangis




Ada lagi tak manusia hari ini yang mampu menyimpan rasa cinta pada manusia dalam lipatan rahsia? Kerana takut fitnah melata di hati.


Mungkin kita kata, "Ah, itu manusia zaman nabi. Imannya kental ,mujahadahnya tinggi mencecah awan, kita ni manusia biasa, mana mungkin mampu menyamai dia!"


Sungguh, kita manusia biasa, tetapi ingat, Saidina Ali juga manusia biasa, bukannya nabi.

Saidina Ali juga punya rasa cinta lantaran fitrah,

Saidina Fatimah juga menyambut lamaran cinta atas dasar cinta.

Ia sama.

Ia cinta.

Ia satu.

Ia Cinta.



Kata orang, cita itu manis.

Kata orang juga, cinta itu pahit,

Kata orang cinta itu laksana pelangi,

Kata orang juga, cinta itu laksana awan.


Dan kata saya,

cinta itu umpama api,

kecil2 menjadi kawan,

besar2 menjadi lawan.

Cinta...

biar ia jadi unggun menghangatkan,

jangan sampai marak hingga memusnahkan!


InshaAllah, yang terakhir akan menyusul.

Semoga Allah kurniakan kesempatan,

Semoga Allah kurniakan kebaikan di sebalik tiap ayat.


Readers i yang dua tiga kerat tu, sorry lah ye, baaaannyaaakkk sangat perkataan 'cinta' kali ni. Biasalah, menghayati...haha (^_^)

and kalau ada salah silap, tak kena mana2, silalah tegur ek?

Bak kata orang puteh, Please correct me if i'm wrong.

Babai!!!!













3 comments:

  1. cinta dlm diam..... :)
    bnyk hikmahnya drp luahkan.. btl x??

    ReplyDelete
  2. dbah...isk3..terharu...sy akn smpn cnta lam aty sy slg buleh..INSYAaLLAH..:))))))

    ReplyDelete